Selasa, 04 Maret 2008

Sekilas Biografi Pendiri Al-Haq


Berikut ini adalah Biografi Pendiri Amalan Dzikir Al-Haq, Abah H. Saidi Larau. Catatan biografi ini adalah hasil wawancara yang dilakukan pada pertengahan tahun 2001 oleh Achmad Maimun, salah seorang anggota Al-Haq dari Salatiga Jawa Tengah dengan Abah H. Saidi Larau, yang oleh murid-muridnya disebut sebagai Guru Besar Amalan Dzikir al-Haq. Selamat menmbaca dan mengikuti.


Silsilah
Nama lengakapnya adalah: H. Saidi Larao. Beliau lahir pada 10 April 1933 di Binsil. Sebuah desa di pedalaman Kabupaten Luwuk Sulawesi Tengah. Binsil adalah sebuah desa yang hening dan damai. Jauh dari hiruk pikuk dan keramaian serta kebisingan kota. Sebuah desa yang masih asri dan jauh dari pencemaran lingkungan maupun pencemaran moral. Pada saat digalakkannya program transmigrasi oleh pemerintah, desa tersebut menjadi salah satu daerah transmigrasi. Maka tidak heran jika di desa tersebut banyak ditemui orang-orang pendatang khsususnya dari Jawa, mereka adalah yang mengikuti program tansmigrasi pada saat itu.
Secara geneologis, H. Saidi Larao memiliki hubungan dengan Raden Maulana. Seorang utusan dari kerajaan Jogjakarta yang datang ke Sulawesi Tengah pada abad lampau. Berturut-turut silsilahnya adalah sebagai berikut:
Ayahanda dari H. Saidi Larau bernama Laponci sedangkan Ibundanya bernama Ibu Mantasia. Beliau H. Saidi Larau merupakan putra ke enam, dari delapan bersaudara. Nama-nama saudaranya berturut-turut dari yang tertua adalah sebagai berikut; Aisyah, Nura, Hawariyah, Dariyamah dan Said. Sedangkan kedua adiknya adalah Salmah dan Sulaiman.
Ayahanda H. Saidi Larau, yang bernama Laponci adalah putra dari Bapak Larao dan Ibu Kinosigar. Bapak Larao dan Ibu Kinosigar adalah kakek dan nenek dari Guru Besar al-Haq. Sedangkan Larao adalah putra Raden Maulana utusan dari kerajaan Jogjakarta yang diutus oleh Sultan pada saat itu untuk perjalanan muhibah ke Sulawesi. Di Sulawesi pulalah Raden Maulana dimakamkan tepatnya di Donggala.
Sedangkan dari garis keturunan ibu, H. Saidi Larau berasal dari Sulawesi Selatan. Ibunda H. Saidi Larau yang beranama Mantasia adalah putri dari Daeng Ngareng. Beliau adalah seorang Punggawa dari Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Pada saat Kerajaan Gowa mengalami berbagai kekalahan dalam peperangan, banyak punggawa dan panglima yang berhasil menyelamatkan diri. Salah satu di antara punggawa kerajaan itu adalah Daeng Ngareng, Kakek dari H. Saidi Larau dari garis keturunan Ibu.


Keluarga
Abah H. Saidi Larau, diberi karunia oleh Allah 3 orang anak dari pernikahan beliau dengan Ibu Fauziyah (wafat tahun 1992) pada tahun 1969. Satu putra dan dua orang putrid. Putra tertuanya bernama Rizal yang lahir pada tahun 1972. Dedangkan kedua putrinya adalah Siti Zuhria lahir tahun 1974 dan Siti Zaenab yang terlahir pada tahun 1977.
Riwayat Pendidikan
Pendidikan formal yang mula-mula diikuti oleh beliau Abah H. Saidi Larau adalah Folkschoole (Sekolah Desa) pada tahun 1940, yang lama pendidikannya adalah tiga tahun Beliau lulus dari FS di Malio pada tahun 1944.
Setelah lulus dari Folkschoole kemudian melanjutkan ke Sekolah Rakyat (SR) di Boalemo. Untuk menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat ini dibutuhkan waktu tiga tahu pula. Sekolah Rakyat ini, di Boalemo baru dibuka pada tahun 1947. Jadi meskipun beliau telah lulus FS pada tahun 1944, maka tidak langsung melanjutkan studi ke SR tersebut. Pada tahun 1950 beliau lulus dari Sekolah Rakyat.
Setelah lulus dari SR di Boalemo, berkat keinginan belajarnya yang besar, beliau kemudian melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Islam (SMI) yang berada di Pagimana, dan lulus pada tahun 1954. Ketika beliau duduk di bangku SMI itu, ada sosok guru yang memberikan menginspirasi dan motivasi kepada beliau untuk terus belajar dan belajar. Guru tersebut adalah, Bapak Aslam Daroni. Bapak Aslam Daroni ini adalah seorang guru di SMI Pagimana yang didatangkan dari Jogjakarta. Motivasi yang diberikan oleh sang guru tersebut, telah mendorong H. Saidi Larau untuk merantau ke Jogja untuk belajar dan menimba ilmu di tempat asal sang guru yang telah memberikan inspirasi dan motivasi itu, yakni di Jogjakarta.
Keinginan dan hasrat yang besar untuk belajar yang bertemu dengan pemberian motivasi yang tinggi dari figure guru, telah mendorongnya untuk tidak puas belajar hanya di SMI. Lebih dari itu, beliau melanjutkan studi ke pula Jawa, tepatnya di Kota Jogjakarta.
Sekolah yang menjadi pilihannya waktu itu adalah Mualimin Jogjakarta. Memang sebuah prestasi yang luar biasa, pada saat di mana orang belum begitu tertarik untuk sekolah, namun beliau yang orang desa di ujung pulau Sulawesi, di pesisir Samudera beliau pada masa itu telah belajar ke Kota Pelajar. Betapa hal ini merupakan gambaran dari sebuah perjuangan dan kegigihan dan ketangguhan hidup. Pada usianya yang masih sangat belia (21 tahun) hanya dengan bermodalkan semangat beliau menempuh perjalanan yang sangat panjang dari desanya Binsil hingga ke Jogjakarta, yang tidak lain hanya untuk menuntut ilmu.
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya beliau sampai pula di Kota Gudeg. Pada tahun 1954 beliau masuk di Mualimin Muhammadiyah Jogjakarta. Pada tahun 1956 studi di Mualimin dapat diselesaikan. Dan pada tahun 1957 awal beliau pulang ke kampong halamannya, Binsil.
Kiprah di Masyarakat
Setelah pulang, kurang lebih dalam waktu enam bulan beliau tinggal di Desa Binsil untuk melepaskan rindu dengan kampung halamannya. Ghirah untuk berjuang membuatnya hijrah ke Gorontalo. Di sana beliau mendirikan sekolah, yakni Sekolah Menengah Petama (SMP) Muhammadiyah. Beliau sendiri pula yang memimpin SMP tersebut dan dibantu dengan beberapa orang temannya. Antara lain; Everdungga, Yasir Adipu, Elihidiya dan Markami. Amanah menjadi kepala sekolah beliau jalankan selama kurang lebih tiga tahun. Untuk kemudian amanah itu dipercayakan kepada temannya yang bernama Yasir Adipu.
Pada saat itu sebetulnya beliau memiliki keinginan untuk merantau ke negeri jiran Malaysia, akan tetapi berhubung terkendala oleh masalah dana, akhirnya niatan itu dibatalkan. Karena pada saat itu berbarengan dengan adik bungsunya yang bernama Sulaiman menempuh studi di Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, yakni pada tahun 1960.
Keputusan yang diambil kemudian adalah pulang ke kampong halaman lagi, Binsil. Beliau pada saat itu, memilih bertani hingga pada tahun 1962. Pada saat beliau betani itu, sebetulnya pemikiran dan kehadirannya di Gorontalo masih sangat diharapkan. Yakni pada tahun-tahun itu pula ada permintaan dari Konsul Muhammadiyah agar beliau berkiprah di Gorontalo lagi, namun beliau tidak menyanggupinya.
Jalan hidup yang dipilih beliau saat itu ternyata adalah menjadi Pegawai Negeri Sipil. Yakni menjadi PNS di instansi Perpajakan. Akan tetapi tampaknya situasi dan system yang berjalan di perpajakan yang beliau rasakan saat itu tidak sesuai dengan prinsip hidup yang didasari dengan syariat Islam. Keteguhan dalam memegang prinsip ajaran Islam telah membuat beliau sangat tidak nyaman dan tidak teteram dengan hidup dari hasil kerja yang banyak bertentangan dengan hati nurani. Akhirnya PNS di perpajakan itu hanya beliau jalani kurang lebih satu tahun. Suara hatinya yang menolak berbagai system yang berjalan saat itu telah mendorongnya keluar dari PNS. Yakni pada tahun 1963.
Bertani di kampung halaman akhirnya menjadi pilihannya kembali. Dengan kesungguhan dan ketelatenan beliau berhasil dalam bidang ini. Hingga suatu saat hasil pertaniannya dapat digunakan sebagai modal awal untuk membeli dua perahu layer, yang berkapasitas muat kurang lebih 4 s.d 5 ton. Dua kapal itu beliau beli di daerah Panghalassean.
Dengan modal dua kapal itulah kemudian beliau mengembangkan usaha dagang. Dari Binsil ke Pagimana juga ke pulau-pulau di sekitar dan seberang desa. Perdagangan yang digelutinya adalah hasil-hasil bumi dan pakaian. Singkat riwayat, pada kuang lebih tahun 1973, usaha dagang beliau tinggalkan untuk kemudian beralih ke usaha perikanan dengan membuat empang yang luasanya kurang lebih 3 hektar. Namun Allah tampaknya berkehendak lain. Setelah usaha empang dijalankan untuk beberapa lama, banjir yang terjadi membuat usaha empang gagal.

Menerima Karomah dari Allah
Kung lebih pada tahun 1979 menjelang tahun 80-an, yang pada saat itu Abah H. Saidi Larau telah berusia kurang lebih 47 tahun mendapat semacam ilham dari Allah, untuk mengamalkan suatu dzikir tertentu. Beliau mengalami dan merasa dibimbing dan dipandu untuk mengamalkan dzikir-dzikir, yang akhirnya disebut sebagai pengamalan dzikir al-Haq itu. Siapa yang memandu tentu saja tidak perlu disebutkan di tulisan ini. Setelah dipandu dan dibimbing berulang kali, beliau amalkan sendiri. Tidak ditularkan dan tidak disebarkan kepada siapapun. Dan sempat dalam waktu yang agak lama amaln itu tidak dijalankannya lagi.
Sebulan setelah usia beliau mencapai 60 tahun atau kurang lebih setelah 13 tahun menapatkan ilham itu, beliau merasa ada yang mengingatkan tentang amalan itu dan disuruh untuk menularkan kepada orang lain. Akhirnya pada tahun menjelang wafat dari istri beliau, amalan dzikir al-Haq itu diajarkan kepada orang lain terutama kepada kerabat dan keluarga.
Orang pertama yang dipandu untuk mengamalkan dzikir ini adalah Mansur Ali, masih ada hubungan sebagai kemenakan. Sarifuddin Aminullah, Kasim Thahir (murid ini belakangan justru menyimpangkan amalan ini), Anshar. Semuanya adalah warga di desa Binsil.








1 komentar:

Unknown mengatakan...

Menyimpangkan kenapa,dimana letak penyimpangannya?